Suku Moro: Takhayul dan Hantu Peradaban
Perlawanan Terhadap Pemikiran Modern-Saintifik dan Dogmatis-Agama dalam Ekspansi Pembangunan yang Mengeksploitasi Alam

“Kita bukan pecah dari batu keluar dari bambu.”
Begitulah kredo Pak Acho, pria dengan kaos kutang putih dan celana pendek berpinggang karet yang melindungi tubuh mengkilapnya di bawah terik sinar matahari. Dengan logat khas Timurnya, sembari duduk di atas bangku, ia bicara kepada saya sore itu.
Saya ingat betul bagaimana matahari seakan membelah dua dan masing-masing menempati sudut langit yang lapang sejajar dengan permukaan laut. Terik matahari yang keluar lebih cepat dan tenggelam lebih lama, menyilaukan semua yang tampak maupun yang tak tampak di pulau tersebut.
Dua tahun lalu, saya berada di tepi Timur Pasifik Indonesia. Sebuah pulau bernama Galo-Galo yang juga nama sebuah desa. Terletak secara administratif di Kecamatan Morotai Selatan, Kabupaten Pulau Morotai, Provinsi Maluku Utara.
Pada masa itu, selama kurang lebih dua bulan, saya tinggal dengan sinyal dan listrik yang tidak mengalir 24 jam. Kacamata silinder-minus saya juga terjatuh ke dalam dasar laut sejak hari kedua saya tiba di sana. Hari-hari di sana terasa gelap, baik secara harfiah maupun kiasan. Tapi kiranya tidak semua yang gelap berarti buruk, melainkan sebaliknya, bisa juga “mencerahkan”.
Kisah Suku Moro dan Cerita Hantu
Percakapan-percakapan ringan yang coba saya lakukan sejak awal dengan warga lokal, rasanya tidak akan pernah berhasil mereduksi sifat heroik orang kota dan narasi daerah Timur Indonesia yang dianggap liyan serta penuh dengan beban eksotisme ke-Timuran. Namun, ada beberapa percakapan yang masih saya ingat betul sampai sekarang.
Saat hari pertama kami tiba, saya dan teman-teman disuguhi tentang cerita-cerita hantu. Antara lain kisah mengenai Suku Moro yang konon hidup di dalam hutan maupun kebun-kebun warga. Suku Moro disebut-sebut merupakan entitas yang memiliki dimensi berbeda dengan manusia, walau demikian masyarakat enggan menyebut Suku Moro sebagai hantu. Masyarakat percaya bahwa orang-orang Suku Moro ini adalah manusia seperti kita, yang tinggal di dalam hutan. Tetapi karena perbedaan energi dan dimensi, kita tidak bisa melihat orang-orang Moro. Jika pun bisa, berarti saya sudah bukan lagi menjadi bagian dari manusia biasa, melainkan sudah menjadi bagian dari Suku Moro tersebut.
Penjelasan dari masyarakat di atas, kadangkala membuat saya dan teman-teman merasa takut. Alhasil, ketika sedang melewati kebun dan hutan baik pada siang dan malam hari, saya berusaha mengalihkan pandangan ke bawah untuk menghindari kemungkinan bersitatap langsung dengan orang-orang Suku Moro.
Dalam sejarahnya, Suku Moro di Morotai merupakan pekerja bagi Kesultanan Ternate. Mereka dijadikan budak dengan beban kerja yang berlebih: seperti menyuplai bahan makanan, mulai dari beras, sayuran hingga unggas kepada Kesultanan Ternate. Selain itu, orang-orang Suku Moro juga harus memeluk agama Islam yang sesuai dengan kepercayaan Kesultanan Ternate.
Kemudian bangsa Portugis datang untuk mencari rempah-rempah dengan semangat ekspansifnya menemukan dunia baru. Portugis mulai melakukan pembaptisan kepada orang-orang Suku Moro — yang dipercayai sebagai upaya pembebasan dari perbudakan yang dilakukan oleh Kesultanan Ternate terhadap orang-orang Suku Moro. Namun pada akhirnya, orang-orang Suku Moro tetap mengalami pembantaian oleh Kesultanan, yang dilihat sebagai upaya penghilangan bukti kekalahan dan pelanggengan status quo Kesultanan Ternate kala itu.
Hal tersebut bukan lah suatu hal yang aneh karena kontestasi agama yang terjadi, memang merupakan kontestasi akan identitas kekuasaan. Dengan begitu, peranan agama dalam pembentukan masyarakat Maluku Utara, khususnya Wilayah Morotai, dimulai pada titik ini.
Selain kisah Suku Moro, saya dan teman-teman juga disuguhi cerita tentang konflik etnis-politik yang melibatkan agama di Maluku, yang terjadi dalam kurun waktu 1999–2002. Konflik tersebut juga turut berkontribusi membentuk struktur masyarakat Morotai hingga saat ini. Sekarang wilayah Morotai kembali ke dalam dikotomi antara desa Islam dan desa Kristen yang kuat. Setiap pulau seakan mempunyai agamanya masing-masing. Dimana Galo-Galo, desa yang saya tinggali, merupakan “desa Islam”. Dalam artian, semua penduduknya memeluk agama Islam sehingga mengharuskan saya dan teman-teman menyebrang ke pulau lain jika ingin melakukan ibadah minggu di Gereja. Jarak fisik sebagai realitas spasial Wilayah Maluku yang terdiri dari pulau-pulau, seakan melegitimasi adanya perbedaan keyakinan itu.
Penggalan cerita mengenai konflik-konflik agama di Maluku tersebut, membawa saya pada sebuah pertanyaan lanjutan mengenai kontestasi kuasa yang terus terjadi hingga saat ini. Pasalnya, kontestasi kuasa yang hadir dari dua narasi besar Dogmatisme-Agama dan Modern-Saintifik pada kehidupan masyarakat Galo-Galo, kini cenderung melihat kisah Suku Moro sebagai suatu mitos dan takhayul belaka. Yang menurut hemat saya, posisi ini pula yang menjadikan kisah tentang Suku Moro memiliki daya tawar dalam kehidupan modern yang penuh dengan intrik kekuasaan.
Keyakinan bahwa orang-orang Suku Moro “bukan hantu melainkan manusia dengan dimensi yang berbeda”, mendapatkan pertentangan dari beberapa pemuka agama di sana. Hal ini terjadi karena kehadiran Suku Moro tidak sesuai dengan konsep dan ajaran agama Islam yang memang menentang hal-hal mistik. Di sisi yang lain, gelombang rasionalitas dari kaum modern-saintifik juga mengakui hal yang sama. Kisah mengenai keberadaan Suku Moro hanya dianggap sebagai kepercayaan tradisional masyarakat yang menghambat proses pembangunan Desa Galo-Galo menjadi salah satu destinasi wisata Kawasan Morotai saat ini.
Masuknya arus besar kedua kutub tersebut, memperlihatkan bahwa proses penghilangan Suku Moro dalam sejarah, terjadi secara nyata maupun simbolik. Secara nyata, para pemuka agama kerap menegur dan memberi peringatan keras kepada mereka yang masih berinteraksi dengan Suku Moro melalui ritual. Sedangkan secara simbolik, kisah Suku Moro tereduksi oleh narasi besar “membangun Indonesia dari pinggir” dalam wujud pariwisata berbasis alam (ecotourism) yang gencar digalakkan oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah Kabupaten Pulau Morotai sendiri.
Dimana menurut hemat saya, seperti yang sudah-sudah, pemakaian konsep ecotourism sebagai gimmick belaka, hanya akan berdampak pada terjadinya eksploitasi masyarakat lokal dan alam Indonesia. Melalui proses tersebut, pemerintah kerap berusaha membentuk ruang budaya untuk memberikan kenyamanan dan kepentingan golongan tertentu saja. Tak jarang warga atau penduduk lokal hanya akan menjadi objek dan penonton pasif ketika alamnya mulai di embel-embel kan sebagai daerah pariwisata berbasis alam — yang berkonsekuensi pada terjadinya eksploitasi alam dan tubuh yang tidak pernah mengenal batas.
Dogmatisme-Agama dan Modern-Saintifik
Pada awal kedatangan saya dan teman-teman di Pulau Galo-Galo, kami banyak diingatkan untuk tidak keluar jika matahari telah terbenam. Hal ini mengingatkan pada perkataan nenek saat saya kecil, yang selalu melarang saya keluar malam karena ada penunggu yang berjaga di pojok pekarangan rumah kami dan siap menculik jika saya nekat melakukannya.
Saya selalu takut, tetapi sekaligus juga penasaran akan kisah “hantu murat” (muka rata) yang saat itu sedang ramai dikisahkan berkeliling menjual dagangannya setiap malam menyusuri gang-gang rumah yang gelap lagi sepi. Ketika hari semakin larut, saya beranikan diri memandang lebih jauh melihat ke sisi luar dari pagar rumah, yaitu pada seberang jalan. Hantu murat dikisahkan berkeliling sambil menjual bakso, nasi goreng, mie dok-dok, mie tek-tek, bakpao, sate dan sebagainya.
Ternyata cerita-cerita hantu tersebut berlanjut hingga saya besar dan seperti sudah menjadi bagian kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia, baik di desa maupun di kota. Hingga saat ini pun, cerita hantu terus diproduksi melalui media dan film hantu lokal yang juga kian laris-manis dipasaran. Hal ini menggenapkan kenyataan bahwa orang Indonesia memang menyukai cerita hantu.
Pertanyaannya, mengapa cerita hantu dan hal-hal yang ghaib berbau takhayul masih subur di negeri ini? Jika bukan karena tanah ini memang mengandung roh-roh, maka tentu pasti karena kita selalu merasa ada yang salah dengan takhayul itu sendiri.
Lalu kemudian, mengapa kita selalu merasa ada yang salah dengan takhayul?
Takhayul yang dalam pengertian umum sebagai suatu kepercayaan atau praktek tentang hal-hal yang hanya ada di dalam khayalan, di zaman yang serba modern ini semakin dianggap sebagai hal yang kian menyesatkan. Anggapan tersebut tak hanya datang dari kutub modernis yang mengaku berpikiran kritis, tapi ia juga mendapat serangan dari kutub ekstrem lainnya, yaitu dari kaum dogmatis-agamawan.
Jika kita melihat pada kutub modernis-saintifik, pemikiran yang serba rasional tak serta merta membawa pada kesadaran modern yang membebaskan kita dari sifat-sifat takhayul. Toh pada kenyataannya, kesadaran modern hanya dijadikan sebuah alat untuk mencapai kepentingan individu atau golongan tertentu, yang membuatnya tak lebih baik daripada sifat takhayul.
Dalam konteks wacana “Pembangunan dari Pinggir’’, kewajiban membentuk masyarakat Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) yang tertulis jelas dalam Peraturan Menteri Pariwisata No 14 tahun 2016 tentang pedoman destinasi pariwisata berkelanjutan, adalah salah satu contoh kecil bahwa negara dengan segala instrumennya mencoba memasuki alam dan ruang-ruang hidup masyarakat dengan niat hanya menguntungkan segelintir elit di pusat. Skeptisisme saya bukanlah tanpa alasan.
Tentu tidak ada yang salah dari niat memberdayakan masyarakat dan mendorong pemerataan pembangunan. Namun jika pada kenyataannya hanya alam yang dieksploitasi dan masyarakat lokal menjadi budak paksa wacana negara, maka kesadaran modern tak lain hanya akan mewujud malapetaka yang lebih menyesatkan dari takhayul itu sendiri. Dengan demikian saya rasa sudah jelas, kita tidak perlu menganggap salah takhayul karena ia bersifat khayal. Melainkan, mitos dan takhayul muncul karena ia belum saja menemukan hubungan sebab-akibat sehingga perlu ditelusuri lebih lanjut mengenai asal-usulnya.
Dalam wacana pembangunan Pulau Galo-Galo sebagai salah satu destinasi pariwisata di Wilayah Morotai, akan terjadi proses reduksi simbolik yang disebabkan oleh pertarungan antar kekuasaan. Sudah bisa dipastikan yang terkucil seperti kepercayaan lokal; alam sebagai arena (domain fisik) pertarungan wacana; dan masyarakat lokal itu sendiri, akan tereduksi oleh apa yang dominan. Salah satu contohnya, masyarakat lokal akan mulai mengalami perpecahan identitas dikarenakan tumbuhnya kelompok modern-temporer (baca: Pokdarwis) yang terlibat di dalamnya.
Di sisi lain, ketika praktik modern dinilai gagal dalam mencapai keadilan sosial karena adanya ketimpangan besar yang disebabkan oleh rezim korup — yang hanya menguntungkan segala macam bentuk kapitalisasi negara dan tidak memperbaiki kehidupan manusia. Kemudian bangkitlah apa yang disebut dengan fundamentalisme agama. Ide-ide filsafat modern Barat, demokrasi, hak asasi manusia, sosialisme mulai tidak dipercayai, bahkan ditentang dan dicurigai semata sebagai “agenda Barat”.
Fanatisme ekstrem yang dicampur oleh pesatnya perkembangan politik identitas, tampaknya telah membawa kita pada periode iman dan kecemasan. Dimana kini agama mengisi berbagai ruang hidup masyarakat dalam skala dan intensitas yang tinggi — yang belum pernah dialami oleh masyarakat Indonesia sejak zaman kemerdekaan. Dan bersama dengan itu, timbul pula rasa cemas kalau-kalau agamanya dinodai oleh pihak lawan.
Ilustrasi tersebut mudah saja kita dapati di jalanan. Regulasi tanpa pandang bulu bahwa semua pengendara wajib mengenakan helm sudah final. Tetapi jika dikatakan bahwa peraturan lalu lintas lebih ditaati daripada peraturan agama, tentunya bisa menyinggung perasaan beberapa pihak. Kejadian yang kurang lebih sama, juga bisa kita saksikan baru-baru ini. Keributan yang terjadi di Masjid Raya Bandung dimana sekelompok orang menurunkan paksa spanduk berisi maklumat pelarangan sementara shalat berjamaah selama pandemi COVID19, sambil teriak “Takut pada Allah bukan Ridwan Kamil!”, merupakan salah satu contoh dari sekian kasus kecemasan iman yang terekspos. Lagi-lagi, di negeri ini, jika protokol kesehatan lebih dituruti dari peraturan agama, tentunya bisa menyinggung perasaan.
Ketidakmampuan untuk tidak mencampuradukkan antara kebenaran objektif (untuk konteks ini adalah kebenaran ilmiah) dengan kebenaran subjektif, memposisikan agama berjalan di atas dasar-dasar ideologi yang semata berfungsi menghukum dan menghakimi orang lain. Pencampuran klaim subjektif dengan realitas objektif yang di luar dirinya, menjadikan kehidupan publik kita hari ini kian semrawut, dan setiap hari gejala tersebut semakin mengkhawatirkan.
Kini persoalannya, ternyata sifat-sifat modern-saintifik dan dogmatis-agama seperti seakan bejodoh. Maksudnya, jika pemikiran rasional modern meletakkan kebenaran ilmu di atas segala-galanya, maka monoteisme juga meletakkan kebenaran iman di atas segala-galanya. Ibarat surga dan roh akal budi mengawang di langit sebagai suatu keluhuran; lawannya adalah bumi dan naluri tubuh yang dianggap sebagai suatu kekuatan gelap. Konsekuensinya, energi-energi di dalam tubuh dan alam terus direpresi dan bersamaan dengan itu, praktik modern dan monoteisme seakan sepakat bahwa tubuh dan alam adalah “objek yang harus dikuasai.’’
Kehidupan modern melalui kapitalisme dan konsep “hak miliknya”, terus memanjakan keinginan manusia untuk menguasai dan memiliki. Rasio pun hanya sekadar menjadi alat untuk mencapai nafsu kuasa tersebut. Sedangkan monoteisme dengan ajaran kebenarannya, sering hanya dijadikan alat untuk memberikan legitimasi pada bentuk kekuasaan mutlak. Hukum agama pun menjadi alat untuk mencapai kekuasaan. Dengan demikian, sebenarnya kedua hal tersebut sama-sama menghamba pada kehendak kuasa. Keduanya, semata akan menjadi agen globalisasi yang cenderung dengan mudah mereduksi alam dan kebudayaan lokal yang beragam sebagai realitas kehidupan masyarakat Indonesia.
Celakanya, di era media sosial yang mengutamakan rating dan pasar, pemikiran yang bersifat dogmatis akan lebih merasa diuntungkan. Karena, kebenaran saintifik memerlukan ruang yang lebih luas untuk menjelaskan argumennya, dari hanya sekadar 140 karakter di twitter. Sedangkan dogma, tumbuh subur pada kultur media sosial yang menampilkan argumen-argumen pendek serta gambar bergerak. Konsekuensi dari hal tersebut, ketika kebenaran kritis-saintifik pada akhirnya dirasa terlalu canggih dan sulit diterima masyarakat umum, maka dogma akan mendominasi kanal-kanal media sosial saat ini. Dengan kata lain, ketika pikiran kritis hanya memberikan harapan pada masyarakat yang pragmatis, maka iman justru memberikan gairah yang memuaskan.
Ketika ada suatu bentuk kuasa yang dominan, maka diyakini pada saat yang sama pula, terdapat kuasa dominan lain yang memberikan perlawanan terhadapnya. Tidak mungkin tumbuh musuh besar jika tidak ada perlawanan yang besar pula bukan? Maka dalam konteks ruang sosial, gesekan antara praktik modern-saintifik dan dogmatis-agama, hanya akan terjadi apabila terhubung oleh proses yang hegemonik tersebut. Konsekuensinya, ekosistem atau alam yang merupakan situs pertarungan kedua wacana di atas, hanya akan menjadi korban yang pada suatu saat akan hilang karena telah terobjektifikasi dan tereduksi secara harfiah maupun kiasan.
Kembali pada Cerita Hantu dan Kisah Suku Moro
Ketika kurang lebih dua bulan saya tinggal di Pulau Galo-Galo, saya merasa kehadiran kisah Suku Moro di tengah masyarakat Galo-Galo saat ini terasa begitu janggal. Hal tersebut dikarenakan kisah suku Moro yang berkembang di masyarakat Galo-Galo, muncul dalam bahasa takhayul yang merupakan permainan dengan harmoni dan keseimbangan. Sedangkan pemikiran modern-saintifik dan dogmatis-agama, muncul dalam bahasa kebenaran yang keduanya bertindak laku-benar akan nafsu argumennya masing-masing.
Diibaratkan, jika takhayul seperti cinta; maka pikiran modern-saintifik dan dogmatis-agama seperti sex. Nafsu kebenaran tersebut tidak menjamin kepentingan bersama dan tentang roh-roh penjaga hutan. Justru sebaliknya, bersama dengan sifatnya yang laku-benar, ia cenderung merusak apapun yang bertentangan dengannya. Termasuk kepercayaan lokal yang sering mereka pahami sebagai ilusi tak bertanggung jawab (takhayul) di negeri ini.
Cerita hantu dan takhayul yang hidup dengan saya sejak kecil dan mungkin sebagian besar masyarakat Indonesia, serta kisah Suku Moro, mungkin sebenarnya hanya bentuk lain dari manifesto spiritualitasme masyarakat Indonesia. Atau memang, sebenarnya merupakan cara yang ampuh untuk memperkenalkan spiritualitas pada anak-cucu kita mendatang. Cerita hantu dan kisah Suku Moro juga bukan lagi tentang percaya atau tidak percaya, namun ia telah melampaui realitas kepercayaan itu sendiri dan berkembang menjadi sebuah metafora tentang permasalahan struktur lain yang lebih luas di masyarakat.
Pada titik ini, saya menyadari ada semacam daya tawar yang dimiliki oleh kisah Suku Moro sebagai bentuk proyeksi dari kenyataan di masa lalu. Untuk kemudian memberikan perlawanannya terhadap subjek yang membentuk mereka. Di masa sekarang, ia terus berkembang menjadi ide tentang mitos, yang secara langsung maupun tidak langsung, berfungsi sebagai benteng pertahanan awal untuk keberlangsungan hidup masyarakat Galo-Galo dan kelestarian alam setempat.
Namun sayang seribu sayang, kisah suku Moro kini terus terancam menghilang. Tereduksi oleh pikiran dogmatis-agama yang berkembang pesat karena historisitas konflik agama di Maluku serta perkembangan pemikiran modern-saintifik yang datang deras dari luar berkedok program-program “pembangunan”.
Penghilangan hal-hal yang sifatnya takhayul di negeri ini menyadarkan kita bahwa takhayul justru ada karena suatu alasan tertentu. Takhayul seperti kisah Suku Moro di Galo-Galo, bagaikan seperti sebuah senjata ampuh yang membawa kita pada semacam dialog diri, untuk kembali mengingatkan apa yang sebenarnya kita butuhkan — di tengah tuntutan dunia yang serba cepat dan berbagai kemunculan bentuk kepanikan moral lainnya. Jika tidak, hal tersebut hanya akan menyebabkan tumbuh suburnya nalar ekspansif, layaknya imperialisme ala Portugis yang ironisnya, justru datang dari dalam tubuh Nusantara itu sendiri.
Wacana-wacana pembangunan yang mengobjektifikasi tubuh dan alam hanyalah hasil kepanikan moral sesaat yang terus didorong oleh narasi-narasi besar industrialisasi dunia 4.0. Padahal, seperti yang kita ketahui, dalam falsafah kuno untuk anak-anak, bahwa “otak mengalahkan otot”; dalam wacana kritis “yang lemah tidak selalu dianggap sebagai suatu yang kalah”; dan dalam kredo saya “yang dianggap gelap, tidak selalu berarti buruk”.
Seharusnya dari sana kita belajar, bahwa tidak ada yang perlu dicemaskan selain dorongan-dorongan untuk menguasai yang muncul dari dalam diri kita sendiri.
Karena kekhawatiran yang terus terpupuk oleh nafsu kebenaran, hanya menjadikan kita manusia layaknya “hantu murat’’ (muka rata) yang hidup tanpa mata, mulut, telinga, dan hidung. Lalu kemudian, kita perlahan menjelma sebagai Hantu Peradaban yang tidak bisa melihat, mendengar dan merasakan penindasan serta ketidakadilan yang terjadi disekitar kita. Dan hidup dengan kebenaran tunggal, hati dan pikiran yang beku, serta selalu menutup pintu dialog, bahkan ketika berhadapan dengan saudara sebangsanya sendiri.
Moral of the story:
Percayalah, keberadaan cerita hantu dan takhayul seperti kisah Suku Moro, akan menemukan alasannya mengapa ia terus direproduksi hingga saat ini. Cerita hantu dan kisah suku Moro memiliki suara yang patut kita dengar. Ia merupakan cara simbolik untuk menyampaikan pesan, sebagai kiasan dari sifat rakus dan jahat manusia. Mereka merupakan bagian dari bahasa takhayul yang justru berniat baik merawat alam dan menjaga semangat persatuan dalam keberagaman.
Persatuan dalam keberagaman dan kelestarian alam tidak akan pernah dicapai apabila kedua kutub ekstrem, dogmatis-agama dan saintifik-modern, terus meluncurkan nafsu kebenaran dan mendominasi masyarakat kita seperti hari ini. Dengan kata lain, dibutuhkan sebuah dialog antara yang terbaik dari akal, yang terbaik dari pemikiran kritis, serta spiritualitas: yaitu sebuah dialog yang mengantarkan kita pada kasih sayang satu sama lain.
Dengan demikian, monoteisme harus belajar banyak dari agama-agama Timur yang tidak melihat tugas manusia dalam kerangka perang antara kuasa Tuhan dan kuasa Iblis, melainkan dalam kerangka peran menyeimbangkan kekuasaan. Sebab kebenaran adalah misteri yang jika jatuh ke tanah hanya akan menjelma hukum yang semena-mena, dan akan menindas yang dianggap marginal atau minoritas tersebut. Alam dan masyarakat Timur Indonesia.
Pak Acho mungkin benar:
“Kita bukan pecah dari batu keluar dari bambu”.
END.
P.S: Tulisan ini menjadi perpanjangan ungkapan saya beberapa lalu di sosial media [1] mengenai dogmatisme agama dan sikap kritis di tengah pandemi coronavirus. Skak mat kita di tengah pandemi, mengharuskan kita tunduk pada SOP mencuci tangan, menjaga kebersihan, menjaga jarak dengan orang lain, tidak keluar rumah, memakai masker dan lain sebagainya, yang merupakan sebuah konsekuensi telak, jika kita ingin bertahan hidup di tengah situasi seperti ini.
Pandemi COVID19 menyadarkan saya bahwa apa yang tidak lebih sengsara dari kehilangan pilihan hidup yang sebelumnya tersedia sangat banyak namun sering diselewengkan. Momen ini membuat kita seharusnya berpikir ulang tentang cara-cara hidup. Berpikir ulang terhadap apa yang kita yakini sebagai kebenaran final dan tunggal. Dimana sikap realistik sudah tidak relevan, melainkan hanya membuat dunia kering dan rapuh seperti sekarang — karena hanya bertumpu pada sebuah kebenaran yang diagungkan, serta karena jimat-jimat telah dihilangkan, mitos dikaburkan, dan imajinasi dimatikan.
Maka kini keputusan untuk menebang sebuah pohon bisa terjadi begitu cepat karena tidak ada cerita atau takhayul yang melindunginya. Dalam kata lain, dunia modern yang dimulai dengan industrialisasi telah menyeret kehidupan, jauh ke dasar jurang materialisme dengan konsekuensi dampak kerusakan alam skala global dan munculnya kekosongan batin masyarakat dunia.
Humanisme universal yang terlalu antroposentris dinilai telah gagal dalam menuju sebuah keseimbangan hidup. Perubahan iklim, kerusakan alam serta munculnya pandemi COVID19 merupakan tanda bahwa tidak ada pilihan lain, untuk homo sapiens bertahan hidup, selain kembali pada mitos maupun kisah imajinatif yang terus mampu memberi sensasi, harapan, dan kebijaksanaan dalam keputusasaan dan keganasan dunia modern saat ini.
Referensi:
Pengalaman personal yang direfleksikan dan disusun ulang dengan bantuan sumber-sumber berikut:
https://www.nu.or.id/post/read/50084/sinkretisme-islam-nusantara-terbentuk-atau-dibentu
https://www.univie.ac.at/euroseas2015/conference-programme/keynote-lectures
https://geotimes.co.id/opini/puritanisme-islam-memurnikan-ajaran-atau-arabisasi/
https://bakudapan.com/id/moro-morotai-abjeksi-akan-konflik-dan-kontestasi-agama/
https://islami.co/memadukan-nilai-universal-dan-lokal-islam/
https://www.youtube.com/watch?v=9fzgAsxvGEU
https://www.youtube.com/watch?v=FbwcBZ1Cu18&feature=emb_title
https://www.qureta.com/next/post/antroposentris-akar-penyebab-kerusakan-lingkungan
https://www.qureta.com/post/spiritualisme-kritis
https://geotimes.co.id/kolom/ketika-kaum-puritan-memperoleh-panggung/











Untuk Bapak Kipli Kudo dan Keluarga
di Pulau Galo-Galo, Morotai